-->

PENDIRI PADEPOKAN SH TERATE (Catatan Kecil H. Tarmadji Boedi Harsono,SE,



Ketua Umum Setia Hati Terate Pusat Madiun
” Ojo seneng gawe ala ing liyan, opo alanne gawe seneng ing liyan” Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun H Tarmadji Boedi Harsono,SE. (Jangan suka menyengsarakan orang lain, berbuatlah sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain-pen)
Kenangan Masa Kecil
Hidup tak ubahnya seperti air. Bergerak mengalir dari hulu, berproses, menuju muara. Begitupun perjalanan hidup H.Tarmadji Boedi Harsono, S.E. Siswa kinasih R.M. Imam Koesoepangat (peletak dasar reformasi ajaran Setia Hati Terate ) ini, layaknya manusia lumrah telah berproses melewati perjalanan waktu penuh liku-liku dalamnya.
Atas proses serta bimbingan langsung dari RM. Imam Koesoepangat itu pulalah, akhirnya ia mencapai puncak tataran ilmu Setia Hati (SH) dan dipercaya menjadi Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun empat periode berturut-turut sejak tahun 1981 hingga sekarang (tahun 2012). H.Tarmadji Bedi Harsono, S.E, lahir di Madiun, Februari 1946. Ia punya nama kecil Tarmadji. Di Persaudaraan Setia Hati Terate, beliau lebih akrab dipanggil Mas Madji.
Mas Madji merupakan anak sulung enam bersaudara, dari keluarga sederhana dengan tingkat perekonomian pas-pasan. Ayahnya, Suratman, pegawai rendahan di Departemen Transmigrasi, sedangkan ibunya, Hj. Tunik (almarhum) hanya ibu rumah tangga. Dari latar belakang keluarga ini, dia pun melewati masa kecil penuh kesederhanaan.
Namun ketika Mas Madji beranjak dewasa, kekurangan ini justru menjadi pemicu semangat dalam merubah nasib, hingga dia berhasil menjadi seorang tokoh cukup diperhitungkan. Sosok tokoh yang tidak saja diperhitungkan di sisi harkat dan martabat duniawi, akan tetapi juga diperhitungkan di dunia ngelmu persilatan.
Masa kecil H.Tarmadji Boedi Harsono,S.E, berjalan biasa-biasa saja, laiknya seorang bocah. Di kalangan teman sepermainann, dia dikenal sebagai anak pemberani dan suka menghadapi tantangan. Sejak kecil dia suka duel di luar. Tapi beliau mengaku malu jika main keroyokan (tawuran). Tarmadji kecil lebih suka duel satu lawan satu.
Sewaktu duduk di bangku kelas 3 SD Panggung, Madiun, misalnya, Mas Madji sudah mulai berani berkelahi di luar sekolah. Kesukaan dia untuk duel satu lawan satu berlanjut hingga duduk di bangku SMP. Bahkan ketika duduk di SMA I Madiun, ia terancam dikeluarkan dari sekolah jika masih suka berkelahi.
Yang berbeda dibanding teman sebaya, dia lebih suka bergaul dengan teman yang usianya jauh lebih tua. Barangkali karena tabiatnya ini, kelak menjadikan cara berpikir Tarmadji cepat menjadi dewasa.
Masuk SH Terate
Mas Madji mulai tertarik pada olah kanuragan (beladiri), saat berusia 12 tahun. Ceritanya, saat itu, tahun 1958, di halaman Rumah Dinas Walikota Madiun digelar pertandingan seni beladiri pencak silat (sekarang pemainan ganda). Satu tradisi tahunan yang selalu diadakan untuk menyambut hari proklamasi kemerdekaan. Puluhan bahkan belasan pendekar dari berbagai perguruan yang ada di kota setempat naik panggung. Tunjukkan ketangkasan dalam permainan jurus.
Malam itu, Mas Madji sempat kagum pada ketangkasan dan keluwesan para pendekar yang tanpil di gelanggang. Terlebih saat R.M Imam Koesoepangat, tampil, dan keluar sebagai juara. Sepulang melihat gelar permainan seni beladiri pencat silat itu, benaknya dipenuhi obsesi keperkasaan pendekar. Ia bermimipi dalam cita rasa dan kekaguman jiwa kanak-kanak. Cita rasa dan kekaguman itu, menyulut keinginan dia belajar pencak agar menjadi pendekar perkasa. Sosok pendekar sakti sekaligus jumawa, persis seperti yang tergambar dalam benaknya.
Kebetulan tidak jauh dari rumahnya, tepatnya di Paviliun Kabupaten Madiun (rumah keluarga R.M. Koesoepangat, terletak bersebelahan dengan Pendopo Kabupaten Madiun) ada latihan pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate. Pelatihnya adalah R.M. Imam Koesoepangat. Di komunitas SH Terate beliau lebih akrab dipanggil Mas Imam.
Selang sepekan sejak menonton permainan seni pencak silat di halaman Rumah Dinas Walikota itu, Tarmadji memberanikan diri menemui Mas Imam. Dengan suara agak gemetar, antara harapan dan kecemasan, dia meminta agar diperbolehkan ikut latihan. Namun, permintaan itu ditolak dengan alasan usianya masih terlalu muda. Saat itu, ada tata tertib, yang boleh mengikuti latihan Setia Hati Terate adalah anak dengan usia 17 tahun ke atas (sudah dewasa). Atau anak yang sudah duduk di bangku SMA .
Penolakan itu menjadikan Tarmadji sedih. Obsesi pendekar sakti yang mulai terbangun di dalam jiwanya runtuh, seketika. Beberapa hari ia tak doyan makan. Lama kesedihan itu hinggap dalam jiwanya.Hari-hari berikutnya, Tarmadji kecil hanya bisa berharap, waktu segera terlewati dan usianya beranjak dewasa. Setidaknya, cepat masuk ke SMA, hingga dia boleh ikut latihan SH Terate.
Setahun selang peristiwa penolakan itu, tepatnya tahun 1959, Tarmadji bak mendapat durian runtuh. RM Abdullah Koesnowidjojo (Mas Gegot-adik kandung Mas Imam), menyampaikan kabar baik. Mas Imam memperbolehkan dia ikut latihan, untuk menemani Mas Gegot. Pasalnya, Mas Gegot juga ingin banget ikut latihan.
Ulam dicinta pucuk tiba. Kabar tersebut seperti membangkitkan obsesi pendekar sakti yang sempat pupus di dalam jiwa Tarmadji. Semangatnya bangkit kembali. Batinnya berbunga-bunga.
Tak sabar, Tarmadji bertanya pada Mas Gegot, kapan mereka diperbolehkan mulai latihan. Mas Gegot menyebut jadwal latihan pertama yang harus dijalani. Tapi syaratnya, mereka berdua hanya diperbolehkan menempati baris paling belakang.
Kesempatan pertama yang diberikan padanya, benar, tak disia-siakan. Hari-hari setelah diizinkan ikut latihan, jiwa Tarmadji seakan diterbangkan ke langit. Bayangan sosok pendekar dengan kesaktian yang dimiliki memformat hampir setiap langkahnya. Boleh dibilang, tak ada hari tanpa berobsesi dan tak ada hari tanpa latihan pencak silat.
Apalagi waktu latihan saat itu belum terjadwal seperti sekarang ini. Kadang siang hari, sepulang R.M. Imam Koesoepangat kerja. Tidak jarang, latihan di malam hari hingga waktu fajar.
Satu hal yang cukup mendukung kelancaran jadwal latihan Tarmadji, selain Mas Gegot teman akrabnya, adalah kedekatan tempat tinggalnya dengan Pavilium. Rumah keluarga dia hanya terpaut sekitar 200 meter arah barat dari Paviliun.
Tak berlebihan, jika saban hari ia bermain di Paviliun dan setiap pukul 13.00 WIB (Dulu jam kerja pegawai negeri enam hari kerja. Masuk pukul 07.00 pulang pukul 02.00), ia dan Mas Gegot setia menunggu kepulangan Mas Imam di beranda Paviliun.
Begitu melihat Mas Imam pulang, ia langsung menyalami dan bersabar menunggu sang pelatih makan siang. Kadang harus bersabar pula menunggu cukup lama, karena Mas Imam perlu istirahat selepas kerja. Berhari-hari, berbulan hingga bertahun, ketekunan dan kesabaran serupa itu dilakukannya. Obsesinya hanya satu, ia ingin menjadi pendekar Setia Hati Terate. Seorang pendekar yang tidak saja menguasai ilmu beladiri, tapi juga mengerti hakikat kehidupan. la ingin tampil menjadi sosok manusia seutuhnya. Manusia yang cukup diperhitungkan, menjadi teladan bagi sesama. Dan,jalan itu kini mulai terbuka. Tarmadji tidak ingin menyia-nyiakannya
Ketekunan dan kemauan kerasnya itu, menjadikan Mas Imam menaruh perhatian penuh padanya. Itu ditunjukkan dengan seringnya dia diajak mendampingi beliau melakukan tirakatan ke berbagai tempat, kendati saat itu masih siswa dan belum disyahkan.
Dari Paviliun ini, Tarmadji kecil, selain belajar pencak silat, juga mulai menyerap ajaran tatakrama pergaulan dalam lingkup kaum ningrat. Satu tatanan pergaulan kelompok bangsawan trah kadipaten pada zamannya. Pergaulannya dengan Mas Imam ini, membuka cakrawala baru baginya. Tarmadji yang lahir dan berangkat dari keluarga awam, sedikit demi sedikit mulai belajar tatakrama rutinitas hidup kaum bangsawan. Dari tatakrama bertegur sapa dengan orang yang usianya lebih tua, bertamu, makan, minum. hingga ke hal-hal yang berbau ritual, misalnya olahrasa (latihan mempertajam daya cipta) atau laku tirakat. Dalam istilah lebih ritual lagi, sering disebut sebagai tapa brata, di samping tetap tekun belajar olah kanuragan. Salah satu pesan yang selalu ditekankan R.M. Imam Koesoepangat setiap kali mengajak dia melakukan tirakatan adalah; “Jika kamu ingin hidup bahagia, kamu harus rajin melakukan tirakat. Disiplin mengendalikan dirimu sendiri dan jangan hanya mengejar kesenangan hidup. Nek sing mokgoleki senenge, bakal ketemu sengsarana. Kosokbaline, nek sing mokgoleki sengsarane, bakal ketemu senenge (Jika kamu hanya mengejar kesenangan kamu akan terjerumus ke lembah kesengsaraan. Sebaliknya jika kamu rajin berlatih, mengendalikan hawa nafsu tirakatan, kelak kamu akan menemukan kebahagiaan). Ingat, Sepira gedhening sengsara, yen tinampa amung dadi coba (Seberat apa pun kesengsaraan yang kamu jalani, jika diterima dengan lapang dada, akan membuahkan hikmah).
Berangkat dari Paviliun ini pula, dia mulai mengenal tokoh Persaudaraan Setia Hati Terate, seperti Soetomo Mangkoedjojo, Badini, Salyo (Yogyakarta). Murtadji (Solo), Sudardjo (Porong) dan Harsono (putra Ki HadjarHardjo Oetomo -pendiri SH Terate), Koentjoro, Margono, Drs. Isayo (ketiganya tinggal di Surabaya, serta Niti (Malang).
Di samping mulai akrab dengan sesama siswa Setia Hati Terate. Di antaranya, Soedibjo (sekarang tinggal di Palembang), Hasan Suwarno (tinggal di Solo), Sumarsono (Madiun), Bambang Tunggul Wulung (putra Soetomo Mangkoedjojo, almarhum – terakhir tinggal di Semarang), Sudiro (alm), Sudarso (alm), Bibit Soekadi (alm) dan R.M. Abdullah Koesnowidjojo (alm).
Suatu malam, tepatnya sepekan sebelum dia disyahkan, Soetomo Mangkoedjojo, ketua SH Terate, datang ke rumahnya. Padahal saat itu malam sudah larut dan ia sendiri mulai beranjak tidur. Mendengar suara ketukan di pintu, ia pun bangkit, membukakan pintu. la sempat kaget saat mengetahui yang datang adalah tokoh Setia Hati Terate. Namun ketika dipersilakan masuk, beliau menolak.
“Onten punapa, Pak. Onten dawuh punapa?” tanya Mas Madji. (Ada apa Bapak?)
“Yo wis, ora apa-apa. Wis boboko maneh,” jawab Soetomo Mangkoedjaja. (Ya sudah, tidak apa-apa. Sudah, tidurlah kembali.)
Besok paginya, Mas Madji menghadap Soetomo Mangkoedjojo, menanyakan keperluan beliau datang ke rumahnya semalam.
“Gak apa-apa kok, Dik. Awakmu nesu to aku bengi-bengi teko mertamu?” jawab Soetomo Mangkoedjojo. (Gak apa-apa, Dik. Kamu marah karena saya bertamu malam hari?”
Mas Madji menjawab “mBoten.” (Tidak)
Sotomo Mangkoedjojo tersenyum. Setelah mengamati Mas Madji dan menghela nafas, beliau berkata. Dik, persaudaraan nang SH Terate, nek ana sedulure teko, ndodok lawang, sakwayah wayah, awan apa bengi, bukakno lawang sing amba. Sebab, yen ana dulur mertamu iku mesti nggawa wara-wara, ” (Dik, Persaudaraan di Setia Hati Terate itu, jika ada saudara datang, mengetuk pintu, sewaktu-waktu, entah itu siang atau malam, bukakan pintu lebar-lebar. Sebab, kedatangan saudaramu itu pasti membawa berita penting.)”
Pesan dari tokoh peletak dasar organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate itu, hingga di hari tuanya,seolah-olah terus terngiang dalam benaknnya. Pesan itu pulalah yang menjadikan dirinya setiap saat selalu bersedia membukakan pintu bagi warga Setia Hati Terate yang bertandang ke rumahnya di Jl. MT. Haryono 80 Madiun, hingga saat ini.
Setela berlatih selama lima tahun, yakni pada tahun 1963, Tarmadji disyahkan menjadi Pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate Tingkat I, bersama-sama Soediro,Soedarso, Bibit Soekadi, Soemarsono, Soedibjo, Bambang Tunggul Wulung dan R.M Abdullah Koesnowidjojo.
Turun ke Gelangang
Keberhasilan Tarmadji meraih gelar Pendekar Tingkat I, tidak menjadikan dirinya sombong. Sekalipun, sesuai tradisi di SH Terate, pasca disyahkan ia mulai dipanggil Mas Madji, oleh adik adik litingnya.
Ya, Mas Madji justru menerima anugerah tersebut dengan rasa syukur dan tetap tawakal. Ia berprinsip, keberhasilan itu barulah awal dari perjalanannya di dunia ilmu kanuragan. Masih banyak hal yang harus dipelajari. Dan, itu hanya bisa dilakukan jika ia tetap tekun berlatih dan belajar. Pilihannya sudah bulat. Maknanya, ia pun harus mampu melanjutkan perjalanan hingga ke titik akhir. Pada tahun 1961, Mas Madji mulai masuk ke gelanggang pendulangan medali pencak silat dan berhasil meraih juara I dalam permainan ganda tingkat kanak-kanak se Jawa Timur, berpasangan dengan Abdullah Koesnowidjojo.
Sukses itu, diulang lagi tahun 1963. Di tahun yang sama, sebenamya ia berkeinginan turun ke pertandingan Adu Bebas di Madiun, akan tetapi Mas Imam melarang. la sempat menangis karena dilarang ikut bertanding.
Tahun 1966, berpasangan dengan RB. Wijono, Mas Madji kembali ikut kejuaraan yang sama di Jatim. Namun, ia mengaku saat itu kelewat sombong dan meremehkan lawan. Akibatnya, gagal mempertahankan juara dan hanya berhasil merebut juara II. Kesombongan berbuah kehancuran. Kegagalan mempertahankan gelar ini, menjadikan dirinya malu dan tidak mau mengambil tropi kejuaraan. Kasus serupa terulang lagi pada tahun 1968, saat mengikuti kejuaraan di Jember. Padahal sebelum berangkat Mas Imam sudah memperingatkan agar ia tidak usah ikut karena kurang persiapan. Namun Mas Madji nekat berangkat. Dan, hasilnya adalah kekalahan yang menyedihkan, karena hanya berhasil menjadi Juara Harapan.
Kegagalan demi kegagalan mempertahankan gelar juara, menjadikan Mas Madji sadar, bahwa sombong dan meremehkan lawan hanya akan menuai kekalahan. Untuk itu ia musti berlatih lagi. Pempersiapkan diri sebelum bertanding. Hasilnya, ia kembali mampu merebut juara I di Pra PON VII, Surabaya. Di PON VII, ia meraih juara III.
Pengalaman bertanding di gelanggang ini merupakan bekal Mas Madji melatih altet pada tahun-tahun tujuh puluhan. Pada tahun 1978, ia memberanikan diri menerjunkan altet ke gelanggang pertandingan, kendati Mas Imam, kurang sependapat.
Dala kurun waktu 1974-1978, Mas Imam sempat mengambil kebijakan tidak menurunkan atlet ke gelanggang pertandingan pencak silat yang digelar IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia). Namun pada tahun 1978, Tarmadji memberanikan diri membawa atlet asuhannya ke gelanggang, setelah secara diam-diam dipersiapkan matang. la pula yang berhasil meyakinkan Mas Imam, bahwa Setia Hati Terate masih tetap diperhitungkan di gelanggang kejuaraan. Terbukti, sejumlah atlet asuhannya, berhasil meraih medali kejuaraan.
Prinsip Mas Madji, SH Terate dulu ikut membidani lahirnya IPSI. Maka jika SH Terate ingin tetap diperhitungkan, harus andil melagakan atletnya di gelanggang pertandingan yang digelar IPSI. Bahkan, sejumlah tokoh SH Terate kalau bisa justru jadi pengurus IPSI, sehingga ikut menentukan kebijakan di organisasi pencak silat se tanah air tersebut.
Sementara itu, di luar ketekunannya memperdalam gerak raga, Mas Madji kian intens memperdalam olah rasa. Hubungan dekatnya dengan R.M Imam Koesoepangat, memberi kesempatan luas pada dirinya untuk memperdalam Ke-SH-an. Jika dulu, ketika belum disyahkan menjadi pendekar tingat I, ia hanya diajak mendampingi Mas Imam saat melakukan tirakatan, sejak disyahkan ia mulai dibimbing untuk melakukan tirakatan sendiri. Beberapa tatacara dan tatakrama laku ritual mulai diberikan, di samping bimbingan dalam menghayati jatidiri di tengah-tengah rutinitas kehidupan ini. Di penghujung tahun 1965, setamat Mas Madji dari SMA, semangatnya untuk memperdalam ilmu Setia Hati kian menggebu. Bahkan di luar perintah R.M Imam Koesoepangat, ia nekat melakukan tirakat puasa 100 hari dan hanya makan sehari satu kali.waktu matahari tenggelam (Magrib). Ritual ini ditempuh karena terdorong semangatnya untuk merubah nasib. la ingin bangkit dari kemiskinan. la tidak ingin berkutat di papan terendah dalam strata kehidupan. la ingin diperhitungkan.
Genap 70 hari ia berpuasa, R.M Imam Koesoepangat memanggilnya. Malam itu, ia diterima langsung di ruang dalem paliviun. Padahal biasanya Mas Imam hanya menerimanya di ruang depan atau pendopo. Setelah menyalaminya, Mas Imam malam itu meminta agar ia menyelesaikan puasanya. Menurut Mas Imam, jika puasanya itu diteruskan justru akan berakibat fatal.”Dik Madji bisa gila, kalau puasanya diteruskan. Laku itu tidak cocok buat Dik Madji,” ujar Mas Imam.
“Di samping itu,” lanjut Mas Imam,” Dik Madji itu bukan saya dan saya bukan Dik Madji. Sing apik, goleko disik sangune urip Dik, lan aja lali golek sangune pati (carilah bekal hidup lebih dulu dan jangan lupa pula mencari bekal untuk mati).”
Kemudian dengan bahasa isyarat (sanepan) Mas Imam memberikan petunjuk tata cara laku tirakat yang cocok bagi dirinya. “Api itu musuhnya air, Dik,” ujar Mas Imam. Sanepan itu kemudian diterjemahkan oleh Mas Madji dalam proses perjalanan hidupnya, hingga suatu ketika ia benar-benar menemukan laku yang sesuai dengan kepribadiannya. Ia menyebut, laku tersebut sebagai proses mencari jati diri atau mengenal diri pribadi. Yakni, ilmu Setia Hati.Malam itu juga, atas nasihat Mas Imam, ia mengakhiri laku tirakatnya. Pagi berikutnya, ia mulai keluar rumah dan bergaul dengan lingkungan seperti hari-hari biasanya. Enam bulan berikutnya, ia mulai mencoba mencari pekerjaan dan diterima sebagai karyawan honorer pada Koperasi TNI AD, Korem 081 Dhirotsaha Jaya Madiun. Pekerjaan ini dijalaninya hingga tahun 1971.
Ada cerita menarik seputar pengunduran diri Mas Madji dari pekerjaan sebagai karyawan di Koperasi TNI AD. Suatu hari ia dipanggil Mayor Kasmuri, salah satu petinggi Korem 081 Dhirotsaha Jaya saat itu. Setelah bertemu, perwira menengah itu malah menyuruh Mas Madji keluar dari pekerjaannya.“Kene ki dudu panggonanmu. Panggonanmu ora ning kene, (Di sini bukan tampatmu. Tempatmu bukan di sini),” kata Mayor Kasmuri. Mendengar itu semula Mas Madji kaget. Sebab, pekerjaan itu sudah dijalani lama. Bahkan proses pengangkatan dia sebagai pegawai negeri (sipil AD) sudah diurus. Tinggal menunggu turun SK yang kabarnya tinggal menunggu hari.
Tapi setelah dipikir dan ditimbang, akhirnya Mas Madji menurut. Ia putuskan keluar kerja dari Korem, meski tepat di hari dia keluar SK pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil keluar juga.
“Ada dorongan kuat yang menyuruh saya keluar.Sekarang saya baru tahu, ternyata dorongan dan nasihat Mayor Kasmuri itu adalah isyarat bahwa tempat saya memang bukan di Korem, bukan sebagai pegawai negeri,” ujar Mas Madji.
Pada tahun 1972, ia berpindah kerja di Kantor Bendahara Madiun, namun hanya bertahan beberapa bulan dan pindah kerja lagi di PT. Gaper Migas Madiun pada paroh tahun 1973. Setahun kemudian, ia menikah dengan Hj.Siti Ruwiyatun, setelah dirinya yakin bahwa honor pekerjaannya mampu untuk membina mahligai rumah tangga. (Dari pemikahannya ini, beliau dikaruniai tiga orang putra. Yakni, Dani Primasari Narendrani,S.E (sekarang tinggal di Yogyakarta), Drs. Bagus Rizki Dinarwan SST (tinggal di Madiun) , dan Arya Bagus Yoga Satria,SE (tinggal di Madiun). Di tempat kerja yang baru ini, tampaknya, Mas Madji menemukan kecocokan. Orang Jawa bilang, “jodho”.Terbukti, profesi tersebut membuahkan barokah. Rejekinya tambah lancar. Bahkan pada tahun 1975 ia ditunjukkan menjadi semi agen minyak tanah dan diberi keleluasaan untuk memasarkan sendiri.
Berawal dari sini, perekonomian keluarganya mulai kokoh. Sedikit demi sedikit ia mulai bisa menyisihkan penghasilannya, hingga pada tahun 1976 berhasil membeli armada tangki minyak tanah sendiri. Berkat keuletan dan perjuangan panjang tanpa kenal menyerah, pada tahun 1987, Mas Madji diangkat menjadi agen resmi Pertamina.
Dalam perkembangannya, ia bahkan berhasil dipercaya untuk membuka SPBU (Pom Bensin) di Beringin Ngawi. Hingga tahun 2012, SPBU milik Mas Madji, bertambah dan bertambah lagi. Menyusul kebijakan konversi minyak tanah ke Elpiji, bersama pengusaha Migas lain, dia juga dirikan SPBE.
Senioritas Mas Madji di bisnis Migas, menjadikan rekan pengusaha lain menunjuk dia memegang jabatan di organisasi pelaku bisnis Migas. Sebut misalnya, Ketua III, DPD V Hiswana Migas dengan wilayah kerja Jawa Timur, Bali, NTT dan NTB, serta Ketua Hiswana Migas Mad

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "PENDIRI PADEPOKAN SH TERATE (Catatan Kecil H. Tarmadji Boedi Harsono,SE,"

Post a Comment

1ink.cc

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Adnow

loading...